Meista itu...lelet.

Lambat.

Slow.

Bahkan menurut hasil tes IQ waktu SMA aja salah satu indikator kepribadian gue yang paling lemah adalah dalam hal: kecepatan.

Ada masa di mana menjadi seseorang yang lelet dan lamban itu gak enak banget. Terlebih di kala lingkungan memaksamu untuk harus lebih cepat dan lebih cepat.

Gak ada waktu untuk memproses segala sesuatu.

Gak ada ruang untuk bikin salah.

Lama-lama...si Meista ini capek menjadi orang yang lelet.

Akhirnya dia tingkatkan lah segenap daya dan kekuatannya untuk menjadi lebih cepat, agar dunia bisa menerima dirinya.

Hingga pada suatu waktu, dia berhasil menjadi seseorang yang satsetsatset.

Ukiran prestasi di dunia karir membuktikan dia bisa bersaing dengan baik dan sehat. Ditambah dengan lingkungan startup demi startup makin mempertajam kemampuannya untuk semakin lebih cepat dalam banyak hal.

Hingga dia tiba pada suatu fase lainnya...dia mulai lelah.

Dia lantas menyadari bahwa gak semua lingkungan hidupnya bisa menerima ritme dan gayanya yang serba cepat.

Dia baru sadar bahwa ternyata saat ini dia dituntun pada fase yang kembali membuka pandangannya bahwa gak semua orang bisa cepat kayak dia.

Dia sadar bahwa ternyata sebenarnya tidak apa-apa untuk melambat pada situasi dan kondisi dan lingkungan tertentu.

Tidak apa-apa untuk mengambil waktu berproses sedemikian rupa dan menikmati proses tersebut.

Tak semua konteks kehidupan harus dituntut untuk serba cepat, ternyata.

Dan...akhirnya dia memutuskan untuk kembali injak pedal rem kehidupannya.

Tak berhenti di situ. Dia juga memutuskan untuk menyerahkan kendali penuh hidupnya pada Sang Pengendali Hidup yang sesungguhnya.

Selama ini dia terlalu asik memegang kendali dan tancap gas demi melaju kencang, sampai dia sendiri tak menikmati perjalanan hidup yang tengah dilakoninya.

Dia sadar: hidup ini bukan lomba balap mobil.

Oleh karena itu dia berkata dan berkomitmen pada dirinya sendiri:
"Mei, tunggu. Ada yang harus kita bereskan terlebih dahulu. Capek, lelah, kekeringan. Udah cukup ya melaju dengan kecepatan satsetsatset, sekarang kita harus perhatikan ini: gimana hati? Aman? Dinikmati gak perjalanannya?"

Jawabannya tentu saja: tidak.

Itulah mengapa menginjak pedal rem menjadi keputusannya saat ini.

Dia perlu mengambil waktu untuk mengenali hatinya dan hati-Nya lagi.

Dia sadar bahwa ketika bertanya pada manusia seringkali mengecewakan, memang sebenarnya harusnya bertanya terlebih dahulu pada-Nya, dan Dia akan buka jalan pada siapa Meista seharusnya bertanya ini dan itu.

Kira-kira kapan Meista akan tancap gas satsetsatset lagi?

Let's see...

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN