Photo by O.C. Gonzalez on Unsplash "So I say thank you for the music, the songs I'm singing Thanks for all the joy they're bringing Who can live without it? I ask in all honesty: What would life be without a song or a dance what are we? So I say thank you for the music, for giving it to me" ----- Penggalan lagu di atas adalah lagu yang dipopulerkan oleh grup musik ABBA di era tahun 1980-an. Pertama kali denger sih biasa aja, tapi ketika diresapi kata-katanya, ternyata dalem banget loh. Saya jadi ikutan mikir: kalo di dunia ini gak ada musik, bakal kayak apa ya hidup ini? Bersyukur banget sama Tuhan karena saya terlahir di keluarga seniman. Ayah pemain dan pengajar organ, keyboard, piano, sedangkan ibu...ya bukan penyanyi sih memang, tapi beliau kalo nyanyi suaranya cakep banget dah. Beda banget sama ayah yang kalo nyanyi... please, no ๐ Saya mulai belajar main piano sejak kelas 3 SD. Dulu kami belum punya piano, tapi kami punya organ
Elephant Chibi Parfait with Watermelon Ice Cream at Shirokuma Cafe, Margo City. Shirokuma Cafe adalah salah satu kafe yang mengusung konsep "kekinian" namun tetap menjunjung tinggi cita rasa. Will be back for sure! Masih penasaran sama dessert-dessert yang lain ๐๐ Sejak terlibat di dunia kuliner, saya jadi belajar banyak hal. Gak cuma soal pemasaran yang jadi kerjaan saya sekarang, tapi sedikit-sedikit jadi tau soal gimana bisnis kuliner itu dijalankan. Sedikit-sedikit tau juga resep masakan-masakan yang unik. Sedikit-sedikit tau juga ternyata bisnis Food and Beverage gak cuma melulu ngomongin makanan-minuman walaupun memang kedua hal tersebut adalah ‘bintang utama’-nya. Ngomong-ngomong soal ‘bintang’, saya akhirnya menyadari bahwa sebuah bisnis kuliner itu ternyata (hampir) sama kaya kehidupan artis. Kalo lagi banyak fans-nya, popularitas pasti melonjak tinggi. Tapi kalo lagi sepi penonton, bhay..... Disinilah pentingnya peran promosi. Disinilah bagian dimana
Photo by Nathan Ziemanski on Unsplash Berbicara tentang 'jatuh cinta sama Indonesia'... Apa sih indikator yang bisa kita gunakan untuk mengukur seberapa cintanya orang Indonesia terhadap Indonesia sendiri? 'Gue cinta banget sama Indonesia! Buktinya di rumah gue banyak hiasan bendera merah putih' 'Gue cinta banget sama Indonesia, soalnya gue hafal lagu Indonesia Raya 3 stanza' 'Dari TK sampe kuliah, gue selalu belajar lagu-lagu daerah Indonesia dari Sabang sampe Merauke, coy!' Gue cinta banget sama Indonesia! Makanya gue abis-abisan belajar biar bisa kuliah di Universitas Indonesia' Apakah kayak gitu? ๐ถ๐ถ๐ถ Saya sih gak bilang bahwa pemikiran-pemikiran di atas itu salah, cuma ya gak bisa kasih pembenaran mutlak juga. Menurut saya setiap orang pasti punya penilaian sendiri-sendiri tentang 'cara jatuh cinta sama Indonesia'. Selama kurang lebih mencapai 2 tahun saya memiliki status sebagai alumni mahasiswa, saya sering m
Photo by Giu Vicente on Unsplash Selain pernah jadi Sie Acara di Persekutuan Oikumene Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (PO FISIP UI -- sekarang jadi PO FISIP-FIA UI ) , saya juga pernah bantu Sie Media dan Publikasi untuk jadi kontributor blog persekutuan. Tugasnya sesimpel mencatat intisari Firman Tuhan yang disampaikan di ibadah Persekutuan Jemaat (PJ), kemudian dikemas dalam sebuah artikel blog. Saya sih senang-senang aja ambil bagian ini, karena selain bisa bantu sesama pengurus, saya juga bisa ngelatih diri untuk menangkap intisari pesan yang ingin disampaikan oleh pemberita Firman saat itu. ----- 22 September 2014 Bayangin situasi seperti ini: ceritanya kita udah jadi orang tua dan punya anak. Suatu hari, anak kita sakit demam tinggi, kejang-kejang, dan mukanya udah pucet. Apa yang akan kita lakukan? Kalo saya, pastinya saya akan buru-buru cari rumah sakit terdekat dan bawa dia ke sana. Ilustrasi di atas hampir serupa dengan kejadian yang dialami s
Photo by Simon Maage on Unsplash Sebuah pertanyaan untuk diri sendiri saat work-from-home (WFH) hari ini... --- Hari ini gue kembali dapet jadwal WFH. Sebenernya, PSBB jilid 2 ini gak ngaruh-ngaruh amat ke kebijakan pekerjaan kantor. Pertama, kantor kami itu bentuknya rumah kontrakan gitu. Bukan gedung yang akses masuknya perlu nge- tap kartu identitas karyawan. Kedua, gue bekerja di sebuah perusahaan yang baru banget berdiri alias start-up . Tim manajemen-nya aja cuma berempat, jadi kalo meeting koordinasi pun ya ketemunya 4L: Lo Lagi Lo Lagi. Hahaha. Maka dari itu, kebijakan WFO:WFH di kantor gue tetap 4:2. 4 hari ngantor, 2 hari kerja di rumah, dengan sistem shift . Ditambah lagi dengan kebijakan jadwal dan ketersediaan transportasi yang enggak berubah-ubah amat. Transjakarta tetap beroperasi hingga jam 22:00. Ojek daring pun tetap bisa diakses. Gak ada lagi alasan gue untuk ogah-ogahan ke kantor karena semuanya telah tersedia (macem perjamuan yaa kata-kata gue, wkwkwk). S
Photo by Konstantin Planinski on Unsplash Naik kereta api listrik Commuter Line emang udah jadi rutinitas saya sebagai mahasiswa...eh, alumni. Sejak saya ngga ngekos lagi gara-gara kerjaan saya cuma ngelarin Tugas Karya Akhir (TKA), saya memutuskan untuk pp alias pulang-pergi untuk menghemat pengeluaran. Sejak saya sibuk ngelarin TKA sampai sibuk ngurusin wisuda kampus, ternyata ada banyak yang bisa diperhatiin selama saya berada di dalam kereta. Terutama: penumpangnya. Nah berikut adalah beberapa tipe penumpang KRL Commuter Line yang khususnya ada di gerbong pertama dan terakhir, versi Meista. Check this out! ----- 1. FLEKSIBEL Photo by Jad Limcaco on Unsplash Tipe penumpang ini sepertinya punya prinsip "duduk atau berdiri gak masalah, yang penting sampai tujuan dengan selamat". Biasanya, mereka akan memasuki gerbong kereta dengan santai, nengok kiri-kanan, lalu mengambil tempat duduk atau berdiri di tempat yang pe-we. Duduk oke, berdiri juga oke.
Photo by Davies Designs Studio on Unsplash I lost my job. I "lost" my good friend. ----- I lost my job, di tengah-tengah gue mulai merasa nyaman dan tahu apa yang harus gue lakukan sebagai bentuk kontribusi pada perusahaan. Namun nyatanya gue harus menghadapi kenyataan bahwa situasi dan kondisi perusahaan tak memungkinkan untuk dilanjutkan kembali. Gue tak bisa bilang 'pailit', 'bangkrut', atau apalah itu namanya. Kondisinya tak seperti yang dikira pada umumnya, pokoknya intinya di posisi guenya gue lebih baik menarik diri dan 'meliburkan diri'. Sedih, iyalah jelas. Udah ketemu temen-temen yang nyaman, seru, asik, mengasah karakter gue untuk makin ngerti karakter mereka juga, tetiba jengjeng kita libur sama-sama. Insecure, iyalah, gue manusia normal yang perlu mencukupkan kebutuhan sehari-hari. Minimal untuk diri gue sendiri dan keluarga di rumah. Sedih, belum genap setahun gue berada di sana. Target malah 3 tahun, tapi harus berakhir di sini. Bar
Photo by Luke Leung on Unsplash "...who I am inside?" ...adalah sepenggal lirik dari lagu original soundtrack film "Mulan" yang dinyanyikan oleh Christina Aguilera. Lagu yang berjudul "Reflection" ini benar-benar merefleksikan pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri, khususnya bagi gue yang tengah menghadapi isu personal: rejection. Merasa ditolak, oleh sesuatu atau seseorang, oleh banyak hal atau banyak orang, tanpa alasan yang jelas. Biasanya lebih banyak disebabkan oleh asumsi dan intuisi pribadi daripada logika. Izinkan gue untuk melakukan sedikit 'pembedahan' terhadap isu ini melalui metode pendekatan 5W+1H ✌๐ --- Photo by Joanna Kosinska on Unsplash Apa sih 'rejection' itu? Mengutip definisinya dari Oxford Learner's Dictionary , rejection is the act of refusing to accept or consider something. Kalau parafrase versi gue, artinya mungkin lebih ke 'sikap menolak untuk menerima atau mempertimbangkan sesuatu'.
I'm definitely stop "rampok"-ing you. Now I'm starting to mention your name when I pray to God. And...just wanna say: thank you for coming to my life. Now I'm starting to learn the essence and important lesson of: love.
Comments
Post a Comment
Thank you for your comment! :D